Minggu, 14 Agustus 2011

Belajar dari kota Solo


Beberapa waktu lalu Wakil Walikota Solo, FX Rudyatmo, menunjukkan kepada saya sepotong tepian Sungai Bengawan Solo yang baru dibebaskan menjadi ruang terbuka. Total ada lebih dari 1500 meter panjang tepian ini yang kembali dikembalikan ke guna sejatinya.

Di sana akan dibangun taman, hutan kota, berbagai sarana rekreasi dan olahraga, serta tanggul untuk menahan air sungai jika meluap melebihi normal. Sekarang pekerjaan sedang berlangsung.

Ada dua hal penting dari proyek pengembalian bantaran sungai sebagai ruang publik ini. Pertama, ruang terbuka itu bersifat khayalak (publik), milik bersama yang terbuka. Kedua, karena proyek ini, Sungai Bengawan Solo hadir kembali dalam kehidupan sehari-hari warga.

Tepian air adalah cikal-bakal lokasi semua kota. Solo sudah ada sebelum para raja membentuk dinasti mereka, berkat jasa Bengawan Solo sebagai sumber air dan prasarana perhubungan. Fungsi yang terakhir ini sudah tiada secara konkret, tetapi tetap penting sebagai penghubung antara warga Solo dengan alam maha besar.

Makin besar sebuah kota, hubungan warganya dengan alam pun makin mudah menghilang dari kesadaran. Padahal, seberapa pun canggihnya sebuah kota, tetap saja kehidupan warganya tergantung kepada alam.

Jakarta misalnya, punya pantai sepanjang 30 km dan 13 aliran air — sungai, kali dan anak sungai — tapi entah seberapa banyak penduduknya yang mengalami kehadiran alam sehari-hari?

Hal yang dapat dicontoh dari Solo adalah suatu kerja yang membebaskan kota meraih kesempatan kesempatan baru yang kini terus berbuah, serta memungkinkan warganya memproduksi nilai dan praktik baru (atau lama, tapi yang disemangati kembali) dalam memakai dan memaknai ruang kota.

Di sisi lain, proyek ini juga menunjukkan betapa baiknya kerjasama antara pemimpin daerah. Wakil Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo beperan besar dan bekerja tandem dengan Wali Kota Joko Widodo — terutama dalam pelaksanaan kebijakan.

Ketika membebaskan tepian sungai, misalnya, Rudyatmo memastikan semua penduduk yang terpaksa pindah mendapatkan kompensasi yang sangat baik. “Saya dulu korban penggusuran dua kali di zaman Orde Baru, tanpa ganti rugi sepeser pun. Saya tidak akan melakukan hal yang sama kepada rakyat saya,” kata Rudyatmo,

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More